the golden rule of life

Man Jadda Wajada

Minggu, 20 November 2016

Pentingnya Keseimbangan Belajar

Ternyata masih saja ada orang tua atau bahkan sebagian besar orang tua yang salah persepsi sekaligus penyalahgunaan konsep belajar pada anak-anak yang berbunyi “Belajar di waktu kecil bagai mengukir di atas batu, belajar di waktu besar bagai mengukir di atas air”. Jelas tidak ada yang salah dalam konsep tersebut. Secara logika, konsep tersebut memang benar adanya, mengingat daya pikir dan daya ingat anak jauh lebih mudah daripada usia dewasa. Hanya saja, konsep itulah yang bagi kebanyakan orangtua disalahartikan mengenai konsep belajar itu sendiri. Bagi mereka, waktu yang dimiliki anak-anak akan jauh lebih bermanfaat jika digunakan untuk kegiatan yang mendukung prestasi anak di sekolah. Praktis, sepulang sekolah jadwal les atau bimbingan belajar pun menjadi kewajiban yang harus dipenuhi, meski mereka sadari harus merelakan waktu bermain dan menafikan kebutuhan kodrat anak akan bermain bahkan beristirahat. Itulah mengapa banyak juga orang tua yang menjadi risau saat libur sekolah, mereka seperti kebakaran jenggot sebab waktu anak-anak terbuang sia-sia hanya untuk bermain dan bermain, dan semua pelajaran di otak mereka seakan luntur dari otak sebab bermain.

Apakah yang demikian ini adalah efek dari system pendidikan yang diterapkan Pemerintah sehingga orang tua menjadi demikian kalap dengan ambisi mereka sebagai “orang tua sukses” perihal keberhasilan menghantarkan anaknya dalam peringkat super top Ujian Nasional?, padahal jika mau jujur kita sadar benar, bahwa ada proses panjang dan banyak cara yang bisa dilakukan untuk “berhasil”. Seringkali kita sebagai orang tua lupa bahwa salah satu kebutuhan utama anak-anak adalah bermain. Termasuk lupa juga bahwa ada proses belajar yang tidak kalah bermanfaat dari aktivitas bermain. Parahnya lagi, kita kerap beranggapan, bahwa pelajaran umum di sekolah adalah menu utama yang wajib menjadi prioritas besar bagi anak dalam menuntut ilmu. Walaupun kita tahu, bahwa ilmu agama adalah pondasi pokok setiap insan dalam mengarungi kehidupan berkelanjutan. Namun kita pura-pura buta, atau mungkin mengakui kesalahan tersebut dan lagi-lagi karena kondisional sistem pendidikan, terpaksa harus meninggalkan pondasi pokok religiusitas. Di kota-kota besar utamanya, para orangtua terkadang hanya menganggap menuntut ilmu agama sedari dini adalah layaknya makanan ringan pembuka pada acara gala pesta dinner, yang tak perlu kenyang karena yang harus dikenyangkan adalah ilmu pelajaran umum. Ironi bukan ? bukan lagi.

Saatnya kita menata ulang pemahaman kita mengenai konsep belajar anak secara kompleksitas. Adanya keseimbangan dan kesinambungan di antara hubungan cabang ilmu, serta metode strategis dalam menunjang pembelajaran anak. Sehingga kita tidak lagi merampas hak-hak anak yang sudah menjadi kodratnya, syuku-syukur jika justru dalam memberi kebebasan anak dalam mengeksplor kegiatannya, ada nilai-nilai kognifitas dan bahkan afektifitas di dalam explore activity tersebut. Contoh saja, pada saat anak sedang asyik berjam-jam mengutak-atik sepeda goesnya, membongkar pasang beberapa spare part tanpa ia tahu apa yang terjadi selepasnya. Maka sejatinya itu adalah proses belajar bagi mereka. Karena dalam keseriusannya itu pada dasarnya ia sedang melakukan proses berfikir yang tidak kalah rumitnya ketika ia menyelesaikan soal matematika di bangku sekolah. Dan segala rasa estetikapun sebenarnya sedang ia curahkan sebesar-besarnya.

“Bermainlah dalam permainan, tetapi jangan main-main. Mainlah dengan sungguh-sungguh, tetapi mainan jangan dipersungguh. Kesungguhan permainan terletak pada ketidak-sungguhannya, sehingga permainan yang dipersungguh menjadi tidak sungguh-sungguh lagi. Barangsiapa yang mempermainkan permainan akan menjadi permainan-permainan. Bermainlah untuk bahagia, tetapi jangan mempermainkan kebahagiaan.” Prijakarsa Sj.


Rembang, 20112016
oleh, i said

Tidak ada komentar:

Posting Komentar