![](https://scontent.fcgk5-1.fna.fbcdn.net/v/t1.0-9/11953274_461810640657598_2617279706984656942_n.jpg?oh=61d3865a685e4e7b91e1da2403a0a21f&oe=58CD9186)
Cerita ini adalah kisah nyata yang mengisahkan dua sahabat yang terpisah cukup lama,
Ahmad dan Zaenal. Ahmad ini pintar sekali, sangat cerdas. Tapi dikisahkan
kurang beruntung secara ekonomi. Sedangkan Zaenal adalah sahabat yang
biasa-biasa saja, namun keadaan orang tuanya mendukung untuk karir dan masa depan
Zaenal.
Setelah terpisah cukup lama, keduanya bertemu. Bertemu di tempat
yang istimewa, yaitu di koridor wudhu, koridor toilet sebuah masjid megah
dengan arsitektur yang cantik, yang memiliki view pegunungan dengan kebun
teh yang terhampar hijau di bawahnya. Masjid tersebut adalah masjid
At-Ta’awun yang berada di puncak Bogor. Adalah Zaenal, sudah menjelma
menjadi seorang manager kelas menengah. Berpenampilan necis dan parlente. Meskipun demikian, ia tetap
menjaga kesalehannya. Ia punya kebiasaan yang cukup mulia, setiap keluar kota ia
sempatkan singgah di masjid di kota yang ia singgahi untuk memperbarui
wudhu, dan sujud syukur. Syukur-syukur jika masih ada waktu yang
diperbolehkan untuk melaksanakan shalat sunnah, maka ia menunaikannya.
Pada saat itu, ia tiba di Puncak Pas, Bogor. Seperti biasa ia langsung mencari
masjid. Saat sudah menemukan, dipinggirkanlah mobilnya menuju tempat parkir, dan bergegas masuk ke masjid yang tersebut. Ketika hendak mengambil air wudlu di koridor wudlu, di sanalah ia menemukan Ahmad. Cukup terperangah Zaenal ini. Ia
tahu betul sahabatnya ini, meski berasal dari keluarga tak punya, tapi
pintarnya luar biasa. Zaenal tidak menyangka bila berpuluh tahun
kemudian ia menemukan Ahmad sebagai merbot masjid. “Maaf,” katanya
menegur sang merbot.
“Kamu Ahmad kan? Ahmad kawan SMP saya dulu?”.
Yang
ditegur tidak kalah mengenali. Lalu keduanya berpelukan.
Sesaat kemudian Ahmad berucap
“Keren sekali kamu ya, mas… manteb…”.
Zaenal terlihat masih dalam keadaan
memakai dasi. Lengan yang digulungnya untuk berwudhu, menyebabkan
jam bermerknya terlihat oleh Ahmad.
“Ah, biasa saja…”.Zaenal menaruh
iba. Ahmad dilihatnya sedang memegang kain pel. Khas merbot sekali.
Celana digulung, dan peci didongakkan sehingga jidatnya yg lebar
terlihat jelas.
“Mad… Ini kartu nama saya…”. Kata Zaenal.
Ahmad melihat. “Manager
Area…, wuah, bener-bener keren." puji Ahmad.
“Mad, nanti habis saya shalat, kita
ngobrol ya. Maaf, kalau kamu berminat, di kantor saya ada pekerjaan yang
lebih baik dari sekedar merbot di masjid ini. Maaf…”. Tawar Zaenal pada sahabatnya. Ahmad tersenyum dan mengangguk. “Terima kasih ya… nanti kita ngobrol. Selesaikan saja
dulu shalatnya. Saya pun menyelesaikan pekerjaan bersih-bersih dulu… silahkan
ya, yang nyaman”.
Sambil wudhu, Zaenal tidak habis pikir, mengapa Ahmad
yg pintar, kemudian harus terlempar dari kehidupan normal. Ya, meskipun
tidak ada yang salah dengan pekerjaan sebagai merbot, tapi merbot… ah,
pikirannya tidak mampu membenarkan akal sehatnya. Zaenal menyesalkan
kondisi negerinya ini yg tidak berpihak kepada orang-orang yang
sebenarnya memiliki talenta dan kecerdasan, namun kurang beruntung. Air wudhu
membasahi wajahnya. Zaenal menuju ke dalam masjid, sekali lagi ia melewati Ahmad yang sedang
bersih-bersih. Andai saja Ahmad mengerjakan pekerjaannya ini
diperkantoran, maka sebutannya bukan merbot. Melainkan “office boy”.
Tanpa sadar, ada yang shalat di belakang Zaenal. Sama-sama shalat sunnah
sepertinya. Setelah menyelesaikan shalatnya Zaenal sempat melirik.
“Barangkali ini kawannya Ahmad…”, gumamnya. Zaenal menyelesaikan doanya
secara singkat. Ia ingin segera bicara dengan Ahmad.
“Pak,” tiba2 anak
muda yang shalat di belakangnya terlebih dahulu menegur. “Iya Mas..?”, jawab Zaenal.
"Pak, Bapak kenal
emangnya sama bapak Insinyur Haji Ahmad…?”, tanya pemuda tadi.
“Insinyur Haji Ahmad…?”, kata Zaenal menegaskan.
“Ya, insinyur Haji Ahmad…”, kata pemuda.
“Insinyur Haji Ahmad yang mana…?”, tukas Zaenal bingung.
“Itu,
yang barusan ngobrol sama Bapak…”, kata pemuda meyakinkan.
“Oh… Ahmad… Iya, kenal lah. Dia kan sahabat saya
dulu di SMP. Emangnya udah haji dia?”, tanya Zaenal penasaran.
“Dari dulu udah haji Pak. Dari
sebelum beliau bangun ini masjid…”, jawab pemuda. Kalimat itu begitu datar. Tapi cukup
menampar hatinya Zaenal. _Dari dulu sudah haji, dari sebelum beliau
bangun masjid ini_. Anak muda ini kemudian menambahkan, “Beliau orang
hebat Pak. Tawadhu’. Saya lah yg merbot asli masjid ini. Saya
karyawannya beliau. Beliau yang bangun masjid ini Pak. Di atas tanah
wakafnya sendiri. Beliau biayai sendiri pembangunan masjid indah ini,
sebagai masjid transit mereka yang mau shalat. Bapak lihat hotel indah
disebelah sana? … Itu semua milik beliau…Tapi beliau lebih suka
menghabiskan waktunya di sini. Bahkan salah satu kesukaannya, yang menurut saya cukup aneh, yaitu senangnya menggantikan posisi saya. Karena suara saya bagus,
kadang saya disuruh mengaji saja dan adzan…”. Zaenal tertegun, entah apa
yang ada di hati dan pikiran Zaenal saat itu. Pikirannya bercampur aduk antara malu, bangga dan haru akan kisah mulia sahabatnya itu.
__________________________ __________________________ _____________________________
Ada pelajaran dari kisah pertemuan Zaenal dan Ahmad. Jika Ahmad itu adalah kita, mungkin begitu bertemu kawan lama yang sedang melihat kita membersihkan toilet, segera kita beritahu posisi kita yang sebenarnya. Dan jika kemudian kawan lama kita ini menyangka kita merbot masjid, maka kita akan menyangkal, kemudian menjelaskan secara detail begini dan begitu. Sehingga tahulah kawan kita bahwa kita inilah pewakaf dan yang membangun masjid ini. Tapi kita bukan Haji Ahmad. Dan Haji Ahmad bukan kita. Semoga ia selamat dari rusaknya nilai amal, sebab ia tetap tenang dan tidak risih dengan penilaian manusia. Haji Ahmad merasa tidak perlu menjelaskan apa-apa. Dan kemudian Allah lah yang memberitahu siapa dia sebenarnya.
__________________________
Ada pelajaran dari kisah pertemuan Zaenal dan Ahmad. Jika Ahmad itu adalah kita, mungkin begitu bertemu kawan lama yang sedang melihat kita membersihkan toilet, segera kita beritahu posisi kita yang sebenarnya. Dan jika kemudian kawan lama kita ini menyangka kita merbot masjid, maka kita akan menyangkal, kemudian menjelaskan secara detail begini dan begitu. Sehingga tahulah kawan kita bahwa kita inilah pewakaf dan yang membangun masjid ini. Tapi kita bukan Haji Ahmad. Dan Haji Ahmad bukan kita. Semoga ia selamat dari rusaknya nilai amal, sebab ia tetap tenang dan tidak risih dengan penilaian manusia. Haji Ahmad merasa tidak perlu menjelaskan apa-apa. Dan kemudian Allah lah yang memberitahu siapa dia sebenarnya.
“Al mukhlishu, man yaktumu hasanaatihi kamaa yaktumu sayyi-aatihi”.
Orang yang ikhlas itu adalah orang yang menyembunyikan kebaikan-kebaikannya, seperti ia menyembunyikan keburukan-keburukan dirinya
[Ya’qub RahimaHullah, dalam kitab Tazkiyatun Nafs].
tulisan ini bersumber dari g+angeleyes dan diposting ulang oleh penulis
Tidak ada komentar:
Posting Komentar