the golden rule of life

Man Jadda Wajada

Sabtu, 01 Maret 2014

MAHALNYA MENJADI SURGA

Setiap manusia, di belahan dunia manapun, tak ada satu pun yang tak keluar ke dunia fana ini dari rahim seorang ibu. Tak peduli bagaimana dan siapa seorang ibu tersebut. Allah, Tuhan sang maha cipta bahkan tak menciptakan Nabi Muhammad SAW-sebagai utusan yang paling utama-langsung dari kuasaNya, melainkan tetap melalui gua garbo nya seorang hawa, yakni Sayyidati Siti Aminah Ra. Ada maksud dan hikmah yang terkandung dalam hal ini.

Perjuangan yang luar biasa, telah dilewatkan seorang wanita untuk menjadi seorang ibu. Hal yang demikian tidak hanya berlangsung dari ketika mengandung janin hingga membentuk menjadi bayi yang sempurna, dan kemudian melahirkannya ke dunia fana, yang menurut ilmu kedokteran dalam kurun waktu lebih kurang 9 bulan 10 hari. Sungguh, waktu yang sekian lama, tempaan penderitaan fisik sekaligus psikis yang cukup berat dirasa setiap perempuan yang mengalaminya. Penderitaan yang lebih mendominasi dari sekian banyak perasaan ceria. Tak cukup sampai pada lebih kurang 9 bulan, lebih dari itu penderitaan yang dialami masih berlanjut. Namun, berbeda dari sebelumnya, yakni sebuah proses kelahiran buah hati yang mampu menjadi penawar dari sekian tumpuk penderitaan. Tugas selanjutnya, sebagai seorang ibu kini seakan menjadi seorang pemahat yang memahat serta mengukir dengan cukup handal. Pemahat yang harus mau dan mampu membuat pahatan yang bagus serta halus dan tidak perlu sempurna, namun cukup mendekati sempurna. Seorang ibu harus mampu membesarkannya secara lahiriyah dan bathiniyah. Realitanya adalah mampu merawat, menjaga dan mendidik. 3 poin penting yang cukup menjadi modal menciptakan sebuah aset besar dunia sekaligus akhirat.

Merawat, mempunyai arti kurang lebih secara biologis. Memberi asupan gizi yang teratur dan seimbang, sesuai dengan kaidah-kaidah ilmu kesehatan dan kedokteran, yang dalam hal ini adalah sebagai wujud sikap ikhtiar seorang manusia, dan selebihnya adalah kehendakNya. Untuk membentuk pribadi yang kuat dan kokoh secara badaniyah pada seorang bayi, maka yang paling utama adalah memberikan ASI eksklusif selama paling cepat 6 bulan. Sebuah sistem kekebalan tubuh yang berfungsi sebagai benteng yang paling kokoh bagi pertahanan kesehatan dan tonggak kelangsungan hidup bayi hingga menjadi manusia seutuhnya. Tentunya, sekali lagi, ini adalah sebagai bagian wujud sikap ikhtiar seorang hamba, dan selebihnya adalah kehendakNya.

Menjaga, tentunya berarti secara fisiologis. Yakni selalu memperhatikan segala kondisi baik secara pribadi bayi-sampai kemudian menjadi kanak-kanak dan seterusnya dan seterusnya, maupun kondisi di lingkungan sekitar. Baik lingkungan alam ataupun lingkungan sosial. Kondisi lingkungan alam baik kondusif ataupun unkondusif, sedikit banyak cukup mempengaruhi perkembangan fisik seorang anak. Sebagai contoh, seorang bayi yang ketika lahirnya bertepatan pada musim hujan yang minim akan subsidi energi matahari, maka akan memperlambat perkembangan fisik bayi. Sehingga dalam hal ini, seorang ibu harus pandai-pandai memberikan sikap yang tepat untuk menanggapi berbagai hal yang serupa demikian.

Tak kalah pentingnya, lingkungan sosial di sekitar anak akan menjadi sumbangsih tersendiri bagi pembentukan kepribadian anak dalam hal karakter dan jati diri sebagai manusia seutuhnya. Jika lingkungan sosial yang keberadaannya cukup berbanding lurus dengan nilai-nilai norma bermasyarakat serta sejalan dengan etika syariat agama, maka bukan tidak mungkin secara tidak disadari seorang anak akan mengadopsi nilai-nilai dan etika tersebut dengan sendirinya, tanpa perlu memberi perintah. Terapi copy paste akan terprogram ke dalam sistem memory seorang anak, untuk kemudian menjadi aplikasi wajib dalam tingkah polah kesehariannya. Sebaliknya, jika lingkungan sosial tersebut berbanding terbalik dengan nilai-nilai norma bermasyarakat ataupun etika kaidah syariat agama, maka yang terbentuk dari seorang anak adalah suatu perusakan dini baik secara mental maupun spiritual. Hal ini, semacam suatu kerapuhan fondasi pada sebuah bangunan yang terrencana megah dan mewah, yang pada akhirnya nanti jatuh runtuh hancur lebur sebelum saatnya. Betul, apa yang termaktub dalam syi'ir kitab Washoya, yang kurang lebih artinya; "jika kau tanyakan karakter seseorang, maka cukup perhatikan saja teman sepergaulannya, karena satu sama lainnya adalah saling berkaitan", "jika sepergaulannya baik akhlaknya, maka segeralah mendekat, jika sepergaulannya buruk akhlaknya, maka segeralah menjauh". Sedemikian rumitnya membangun dan membentuk seorang anak untuk menjadi -setidaknya mendekati- sempurna, seorang ibu yang paham betul, akan selalu sigap untuk memonitor segala kondisi anak. Sungguh, perjuangan ke-sekian bagi seorang ibu, yang tak kalah beratnya.

Poin ketiga adalah mendidik. Makna yang cukup luas dari kata mendidik adalah mencerdaskan seorang anak dengan kecerdasan spiritual, kecerdasan sosial, dan kecerdasan intelektual. Tiga ranah kecerdasan yang proporsional secara runtutan. Kecerdasan spiritual wajib diberikan baik kali pertama di alam kandungan maupun kali pertama di alam dunia. Urutan pendidikan yang paling wahid. Pengenalan terhadap Sang Kholik, Penciptanya dan Pencipta asalnya serta Pencipta segala di sekitarnya. Sebuah tonggak dasar spiritual sebagai perisai utama jiwa perseorangan untuk menjadi seorang hamba. Kecerdasan sosial berawal dari pendidikan yang mengharuskan seorang anak belajar berinteraksi mengenal Tuhannya. Interaksi sosial dengan ibunya sesaat setelah kelahirannya serta seusai mengenal Tuhannya, merupakan pendidikan sosial yang kali pertama dan kedua dialami seorang anak. Baru setelahnya, meliputi perihal-perihal yang juga berkaitan pula pada definisi menjaga dari lingkungan sosial pada keterangan sebelumnya. Kecerdasan intelektual menjadi sebuah pendidikan terakhir guna melengkapi bekal-bekal dasar seorang anak untuk mengarungi kehidupan di dunia sembari mempersiapkan pula bekal-bekal untuk kehidupan mendatang.

Sungguh-sungguh, dan sesungguhnya pula, itulah semua, sepanjang waktu dan sebanyak laku, yang kesemuanya lebih banyak diperbebankan kepada seorang ibu dari pada kepada seorang ayah. Terlepas dari istilah emansipasi wanita zaman sekarang, perlu kita menengok jauh ke arah sejarah di belakang kita, bahwa pada zaman apa pun, tidak ada seorang pun ayah pun yang mendominasi tiga poin penting di atas. Hal itu tersebab oleh karena sang ayah yang memang telah diwajibkan untuk lebih menyibukkan diri mencari ma'isyah guna mencukupi kebutuhan lahir batin keluarga. Tak ayal, maka kewajiban-kewajiban mengurus anak beserta segala sesuatunya diwajibkan pula bagi seorang ibu. Dua kewajiban beserta masing-masing terwajib, cukup dirasa adil secara sepintas mengingat sama-sama berkewajiban. Namun, tak dapat dipungkiri bahwa kewajiban yang diemban seorang ibu, sejatinya cukup luar biasa beratnya. Tanggungjawab besar atas berhasil tidaknya menjadikan seorang anak sebagai manusia sukses baik secara duniawi sekaligus secara ukhrowi.

Itulah mengapa, Allah Sang Pengadil yang sungguh berlaku adil bagi seorang ibu, dengan menyematkan sebuah award yang sangat terhormat, sebuah lencana yang sungguh berharga, sebuah penghargaan yang menjadi kebanggaan, ialah menetapkan الجنّة تحت أقدام الأمّهات bahwa "surga ada di bawah telapak kaki ibu". Tentunya, kita tidak akan memaknai secara harfiah, leterleg bahkan saklek, melainkan makna lughowi yang secara luas kita terapkan pada hadits di atas. Setiap manusia, sebagai hamba Allah, pasti tujuan akhir dari perjalanan hidup di berbagai alam hidupnya hanya satu, yakni bertemu Tuhannya, yaitu Allah di surga kelak. Idealnya adalah, untuk mendapatkan impiannya, maka apapun akan dilakukan, termasuk berbakti kepada orang tua, terutama ibu. Maka dari itu, salah satu dari kunci surga-setidaknya-telah ia dapatkan.


Penulis terinspirasi sekaligus tersembahkan dari dan untuk istri tercinta yang telah hamil.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar